Tugas 4 Etika Bisnis (Moralitas
Koruptor)
ABSTRAKSI
Indriyani Dewi,17211987
Penulisan,
Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma 2013
Kata
kunci : Moralitas, korupsi, koruptor
Didalam
kehidupan sosial, manusia dihadapkan pada norma-norma atau aturan yang berlaku
dimasyarakat. Tidak seenaknya saja melakukan perbuatan yang melanggar norma
atau aturan yang berlaku dimasyarakat. Untuk itu, manusia harus mempunyai apa
yang disebut moral. Moral menekankan manusia untuk bisa mmbedakan mana
perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk. Manusia memang harus
mempunyai moral dalam kehidupan sehari-harinya, bayangkan jika seorang manusia
tidak mempunyai moral. Dia akan dianggap buruk oleh masyarakat. Pada penulisan
kali ini, penulis membicarakan tentang moral seorang koruptor. Koruptor yang
biasa disebut orang yang melakukan tindak pidana korupsi, merupakan salah satu
contoh bagaimana moralitas itu sangat penting. Orang yang tidak mempunyai
moral, tidak akan mudah melakukan hal seperti itu.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap menjalankan kehidupannya, manusia dihadapkan pada
norma-norma atau aturan yang berlaku dimasyarakat. Tidak seenaknya saja
melakukan perbuatan yang melanggar norma atau aturan yang berlaku dimasyarakat.
Untuk itu, manusia harus mempunyai apa yang disebut moral. Moral menekankan
manusia untuk bisa mmbedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang
buruk. Manusia memang harus mempunyai moral dalam kehidupan sehari-harinya,
bayangkan jika seorang manusia tidak mempunyai moral. Dia akan dianggap buruk
oleh masyarakat. Pada penulisan kali ini, penulis membicarakan tentang moral
seorang koruptor. Koruptor yang biasa disebut orang yang melakukan tindak
pidana korupsi, merupakan salah satu contoh bagaimana moralitas itu sangat
penting. Orang yang tidak mempunyai moral, tidak akan mudah melakukan hal
seperti itu. Berdasarkan kajian diatas penulis mengambil judul yang akan
dijelaskan pada penulisan yang berjudul “Moralitas Koruptor”
1.2 Perumusan
Masalah
Perumusan
masalah dalam penelitian ini :
·
Mengapa korupsi bisa terjadi ?
·
Bagaimana dampaknya bagi kegiatan
bisnis ?
·
Siapa yang harus bertanggung jawab ?
1.3 Batasan
Masalah
Batasan
masalah penelitian mencakup tentang moralitas dan juga korupsi
1.4 Tujuan
Penelitian
Tujuan
penelitian kali ini bertujuan untuk mencari tahu mengapa korupsi bisa terjadi ?
bagaimana dampaknya bagi kegiatan bisnis ? dan siapa yang harus bertanggung
jawab ?
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Moralitas
Moralitas
berasal dari kata dasar “moral” berasal dari kata “mos” yang berarti kebiasaan.
Kata “mores” yang berarti kesusilaan, dari “mos”, “mores”. Moral adalah ajaran
tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan
lain-lain; akhlak budi pekerti; dan susila. Kondisi mental yang membuat orang
tetap berani; bersemangat; bergairah; berdisiplin dan sebagainya.
Moral
secara etimologi diartikan: a) Keseluruhan kaidah-kaidah kesusilaan dan
kebiasaan yang berlaku pada kelompok tertentu, b) Ajaran kesusilaan, dengan
kata lain ajaran tentang azas dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara
sistimatika dalam etika. Dalam bahasa Yunani disebut “etos” menjadi istilah
yang berarti norma, aturan-aturan yang menyangkut persoalan baik dan buruk
dalam hubungannya dengan tindakan manusia itu sendiri, unsur kepribadian dan
motif, maksud dan watak manusia. kemudian “etika” yang berarti kesusilaan yang
memantulkan bagaimana sebenarnya tindakan hidup dalam masyarakat, apa yang baik
dan yang buruk.
Moralitas
yang secara leksikal dapat dipahami sebagai suatu tata aturan yang mengatur
pengertian baik atau buruk perbuatan kemanusiaan, yang mana manusia dapat
membedakan baik dan buruknya yang boleh dilakukan dan larangan sekalipun dapat
mewujudkannya, atau suatu azas dan kaidah kesusilaan dalam hidup bermasyarakat.
Secara
terminologi moralitas diartikan oleh berbagai tokoh dan aliran-aliran yang
memiliki sudut pandang yang berbeda:
Franz
Magnis Suseno menguraikan moralitas adalah keseluruhan norma-norma, nilai-nilai
dan sikap seseorang atau sebuah masyarakat. Menurutnya, moralitas adalah sikap
hati yang terungkap dalam perbuatan lahiriah (mengingat bahwa tindakan
merupakan ungkapan sepenuhnya dari hati), moralitas terdapat apabila orang
mengambil sikap yang baik karena Ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya
dan bukan ia mencari keuntungan. Moralitas sebagai sikap dan perbuatan baik
yang betul-betul tanpa pamrih.
W.
Poespoprodjo, moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang dengan itu
kita berkata bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk atau dengan
kata lain moralitas mencakup pengertian tentang baik buruknya perbuatan
manusia.
Immanuel
Kant, mengatakan bahwa moralitas itu menyangkut hal baik dan buruk, yang dalam
bahasa Kant, apa yang baik pada diri sendiri, yang baik pada tiap pembatasan
sama sekali. Kebaikan moral adalah yang baik dari segala segi, tanpa
pembatasan, jadi yang baik bukan hanya dari beberapa segi, melainkan baik
begitu saja atau baik secara mutlak.
Emile Durkheim mengatakan,
moralitas adalah suatu sistem kaidah atau norma mengenai kaidah yang menentukan
tingka laku kita. Kaidah-kaidah tersebut menyatakan bagaimana kita harus
bertindak pada situasi tertentu. Dan bertindak secara tepat tidak lain adalah
taat secara tepat terhadap kaidah yang telah ditetapkan.
Dari
pengertian tersebut, disimpulkan bahwa moralitas adalah suatu
ketentuan-ketentuan kesusilaan yang mengikat perilaku sosial manusia untuk
terwujudnya dinamisasi kehidupan di dunia, kaidah (norma-norma) itu ditetapkan
berdasarkan konsensus kolektif, yang pada dasarnya moral diterangkan
berdasarkan akal sehat yang objektif.
2.2
Korupsi
Korupsi
merupakan sebuah kata yang tidak asing lagi kebanyakan orang. Kata ini sudah
menjadi buah bibir bagi pemberitaan-pemberitaan saat ini. Indonesia salah satu
Negara yang termasuk tinggi dalam tingkat korupsinya. Korupsi banyak yang
mengartikan bahwa sebuah sogokan atau mengambil yang bukan merupakan haknya,
mungkin banyak arti lain dari koupsi. Tetapi, pada intinya korupsi itu
merupakan sebuah hal yang dapat merugikan bagi setiap Negara. Untuk mempelajari
lebih lanjut, saya akan memberikan sebuah pengertian-pengertian korupsi dari
sumber-sumber terpercaya.
Korupsi atau rasuah (bahasa
Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna
busuk,rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat
publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain
yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan
tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada
mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Dari
sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:
· perbuatan
melawan hukum,
· penyalahgunaan
kewenangan, kesempatan, atau sarana,
· memperkaya
diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
· merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
· Jenis
tindak pidana korupsi di antaranya, namun bukan semuanya, adalah
· memberi
atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),
· penggelapan
dalam jabatan,
· pemerasan
dalam jabatan,
· ikut
serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
· menerima gratifikasi (bagi pegawai
negeri/penyelenggara negara).
Dalam
arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan
korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling
ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima
pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik
ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan
oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada
sama sekali.
Korupsi
yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,
terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal
seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu
sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini
dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi
dan kejahatan.
Tergantung
dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap
korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang
legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain
Dampak
Negatif Korupsi
Demokrasi
Korupsi
menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik,
korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good
governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum
dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan
kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan
korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan
masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah,
karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau
dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi
mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan
toleransi.
Ekonomi
Korupsi
juga mempersulit pembangunanekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan
pemerintahan. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan
membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private,
korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal,
ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan
perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi
mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru
muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk
membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan
inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan".
Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai
hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi
menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan
mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan
upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek
masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan
lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat
keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga
mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan
tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para
pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor
keterbelakangan pembangunan
ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah
korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan
perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri,
bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar
bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda
sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil
satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi
untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan
lain-lain.
Pakar
dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai
1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187
triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. (Hasilnya,
dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya
dalam satu teori oleh ekonomisMancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu
faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa
pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat
dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan
mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi di masa
depan.
Kesejahteraan
Umum Negara
Korupsi
politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga
negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering
menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah
bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan
besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus
"pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan
besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode
Penelitian
Metode
penelitian ini menacari informasi dari berbagai sumber untuk menjawab rumusan
dan tujuan masalah. Data yang digunakan penulisan ini menggunakan data
sekunder. Data Sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti
dari berbagai sumber yang telah ada (peneliti sebagai tangan kedua). Data
sekunder dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti Biro Pusat Statistik
(BPS), buku, laporan, jurnal, dan lain-lain.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1
Mengapa korupsi bisa terjadi ?
Berikut
ini merupakan faktor-faktor penyebab korupsi yang biasanya terjadi :
1. Penegakan hukum tidak konsisten : penegakan huku hanya sebagai meke-up politik, bersifat sementara dan sellalu berubah tiap pergantian pemerintahan.
1. Penegakan hukum tidak konsisten : penegakan huku hanya sebagai meke-up politik, bersifat sementara dan sellalu berubah tiap pergantian pemerintahan.
2. Penyalahgunaan
kekuasaan dan wewenang karena takut dianggap bodoh bila tidak menggunakan
kesempatan.
3. Langkanya
lingkungan yang antikorup : sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan
sebatas formalitas.
4. Rendahnya
pndapatan penyelenggaraan negara. Pedapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi
kebutuhan penyelenggara negara, mampu mendorong penyelenggara negara untuk berprestasi
dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
5. Kemiskinan,
keserakahan : masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan
ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah,
tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
6. Budaya
member upeti, imbalan jasa dan hadiah.
7. Konsekuensi
bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi : saat tertangkap bisa
menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan
hukumannya.
Rumus:
Keuntungan korupsi > kerugian bila tertangkap
8. Budaya
permisif/serba membolehkan; tidakmau tahu : menganggap biasa bila ada korupsi,
karena sering terjadi. Tidak perduli orang lain, asal kepentingannya sendiri
terlindungi.
9. Gagalnya
pendidikan agama dan etika : ada benarnya pendapat Franz Magnis
Suseno bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam
mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri.
Pemeluk agama menganggap agama hanya berkutat pada masalah bagaimana cara
beribadah saja. Sehingga agama nyaris tidak berfungsi dalam memainkan
peran sosial. Menurut Franz, sebenarnya agama bisa memainkan peran yang besar
dibandingkan insttusi lainnya. Karena adanya ikatan emosional antara agama dan
pemeluk agama tersebut jadi agama bisa menyadarkan umatnya bahwa korupsi dapat
memberikan dampak yang sangat buruk baik bagi dirinya maupun orang lain.
(indopos.co.id, 27 Sept 2005)
4.2
Bagaimana dampaknya bagi kegiatan bisnis ?
Dampak
korupsi terhadap bisnis dan perekonomian di Indonesia sangat berpengaruh,
secara tidak langsung akan meningkatkan angka kemiskinan dan dapat menyebabkan
ketidakmerataan pembangunan ekonomi di Indonesia. Di samping itu, juga
menciptakan perilaku buruk yang dapat mendorong timbulnya persaingan usaha yang
tidak sehat karena dipengaruhi oleh suap, bukan karena kualitas dan manfaat.
Bagi
perusahaan swasta, korupsi berdampak pada ketidakadilan, ketidakseimbangan dan
persaingan tidak sehat sehingga masyarakatlah yang akan dirugikan, seperti
tingginya harga pasaran suatu produk (barang / jasa). Selain itu, pengaruh
korupsi juga terlihat dari kurangnya inovasi atau rasa kreatif dari masing –
masing karyawan dalam persaingan memajukan perusahaannya. Hal ini diakibatkan
karena perusahaan – perusahaan yang bergantung hasil korupsi tidak akan
menggunakan sumber daya yang ada pada perusahaannya. Ketika hal ini
dipertahankan, bagi sebagian perusahaan yang jujur dan masyarakat akan
dirugikan, maka cepat atau lambat akan semakin memperburuk perekonomian di
Indonesia serta dapat membentuk kepribadian masyarakat yang tamak, serakah akan
harta dan mementingkan diri sendiri.
4.3
Siapa yang harus bertanggung jawab ?
Pertanyaan
di atas sangat sederhana, bahkan, barangkali, naif. Namun, jawabannya tidak
akan pernah sederhana, dan juga tidak mungkin akan naif, kecuali jika
direkayasa sebagai pembenaran belaka (justification). Contoh sederhana adalah
apa yang terbentang luas di hadapan negeri ini. Banyak lembaga pengawasan, korupsi
juga kian menggila. Anehnya, perbandingan antara koruptor yang ditangkap dan
jumlah korupsi yang ditengarai tidaklah sepadan sama sekali. Ibarat
membandingkan semut dengan gajah. Sejak awal keberadaannya, sesuai Keppres 31
Tahun 1983, BPKP telah memangku tugas pokok: mempersiapkan perumusan
kebijaksanaan pengawasan keuangan dan pengawasan pembangunan, menyelenggarakan
pengawasan umum dalam penggunaan dan pengurusan keuangan, menyelenggarakan
pengawasan pembangunan. Pelaksanaan tugas pokok tersebut terjabarkan dalam 16
(enambelas) fungsi, yang salah satunya adalah: “melaksanakan pengawasan khusus
terhadap kasus-kasus tidak lancarnya pelaksanaan pembangunan dan kasus-kasus
yang diperkirakan mengandung unsur penyimpangan yang merugikan Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.”
Ke-15 (limabelas) fungsi lainnya adalah dalam rangka pengawasan dalam perbaikan
manajemen. Untuk melaksanakan pemeriksaan khusus, BPKP memperoleh masukan
sebagai dasar pendalaman dari pengaduan masyarakat dan pengembangan dari hasil
pemeriksaan. Tugas yang harus dilaksanakan adalah mengungkapkan:
a)
keterjadian penyimpangan;
b)
b) adanya bukti kerugian keuangan
Pemerintah;
c)
c) adanya bukti orang atau badan
yang melakukan penyimpangan;
d)
d) adanya bukti orang atau badan
yang menikmati hasil penyimpangan.
Jika
diketemukan bukti-bukti tersebut, maka kasusnya akan diteruskan ke aparat
penegak hukum, yaitu Kejaksaan Agung untuk diproses sesuai hukum yang berlaku.
Penyelesaian kasus tersebut sangat tergantung dari proses hukum, mulai dari
penyelidikan hingga pemeriksaan di pengadilan.
Selama
ini, banyak yang mengamati bahwa proses pemeriksaan di pengadilan seringkali
cenderung melemahkan temuan pemeriksaan, sehingga apa yang telah dihasilkan
oleh BPKP tidak terungkap atau tidak terbukti di pengadilan.
Lantas,
siapa yang harus bertanggungjawab memberantas korupsi? Korupsi itu, apa?
Menurut
kamus Bahasa Indonesia, korupsi adalah perbuatan busuk, penyelewengan,
penggelapan untuk kepentingan pribadi. Sedangkan UU Nomor 3 Tahun 1999,
unsur-unsur korupsi adalah: dilakukan oleh orang atau badan, adanya perbuatan
melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau badan, dan dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam kehidupan
sehari-hari, praktik tindak pidana korupsi sendiri sebenarnya juga seringkali
tidak disadari oleh pelaku. Sebagai contoh:
Seseorang
menerima sejumlah pembayaran dari petugas perusahaan atau instansi dengan
menandatangani kwitansi yang nilainya lebih besar dari jumlah yang diterima.
Pada kasus demikian, orang yang bersangkutan merasa tidak bersalah, dengan
berfikir bahwa kwitansi tersebut tidak berhubungan dengan kewajibannya, di mana
yang penting uang diterima sesuai permintaan, meskipun berakibat bahwa
perusahaan atau instansi harus mengeluarkan uang lebih besar dari yang
seharusnya. Kelebihan pembayaran adalah menjadi hak petugas yang bersangkutan.
Kasus di atas memenuhi unsur tindak pidana korupsi, karena: Pertama; yang
menandatangani kwitansi telah melakukan penyimpangan dengan memberik keterangan
palsu atau tidak benar; Kedua; menguntungkan petugas perusahaan; Ketiga; dapat
merugikan keuangan negara atau perusahaan, Keempat; dilakukan oleh yang
menandatangani kwitansi. Apabila seseorang membeli mobil atau motor bekas
dengan tidak mengisi tanggal pembayaran. Dengan tidak mengisi tanggal
pembayaran, maka pembeli mobil atau motor tidak harus membayar bea balik nama
dengan segera. Padahal, sesuai ketentuan, paling lambat dalam waktu 3 (tiga)
bulan setelah perpindahan kepemilikan, pemilik baru harus melaporkan
perpindahan kepemilikan tersebut dan membayar bea balik nama. Tindakan tidak
memberi tanggal pada kwitansi bagi yang menjual bukan menjadi sesuatu masalah,
karena yang penting uang sudah diterima. Tapi bagi pembeli, tidak diberi
tanggal kwitansi berarti tidak akan segera balik nama, berarti tidak perlu
segera membayar bea balik nama.
Kasus
di atas mengandung unsur tindak pidana korupsi, karena: Pertama; dilakukan oleh
yang menandatangani kwitansi; Kedua; tidak memberi tanggal berarti memberi
keterangan palsu, Ketiga; merugikan keuangan negara/daerah, karena tidak segera
membayar bea balik nama, Keempat; menguntungkan pihak pembeli. Jika seseorang
menandatangani kwitansi pembelian tanah dengan nilai lebih rendah dari jumlah
yang diterima. Dengan kwitansi yang lebih rendah berarti baik pembeli maupun
penjual akan membayar pajak terkait lebih rendah dari yang seharusnya. Tindakan
ini memenuhi unsur tindak pidana korupsi, karena:
·
Yang melakukan adalah yang
menandatangani kwitansi
·
Menguntungkan pihak penjual dan
pembeli karena membayar pajak lebih kecil
·
Merugikan keuangan negara karena
pajak yang diterima negara lebih kecil
·
Melakukan penyimpangan karena
menandatangani tidak sesuai dengan jumlah yang diterima
Contoh-contoh
sederhana di atas hanyalah sebagian kecil dari praktik korupsi sehari-hari yang
secara tidak sadar dan sadar telah dilakukan oleh kelompok masyarakat umum. Hal
lain yang dapat dikelompokkan memenuhi unsure tindak pidana korupsi adalah:
·
menggunakan mobil dinas (bukan mobil
pejabat) untuk kepentingan pribadi
·
tidak memerintahkan pindah dari
rumah dinas walaupun sudah tidak berdinas
·
menyewakan aula kantor dan hasilnya
untuk dana kesejahteraan karyawan
·
menggunakan ruang kantor untuk
pendidikan suatu yayasan tanpa sewa
·
menggunakan sisa hasil pungutan
ujian negara untuk kepentingan yayasan
·
menggunakan ruang kantor untuk toko
koperasi karyawan tanpa sewa
·
tidak mencantumkan bukti potongan
pembayaran pada bukti pembayaran dan memanfaatkan penerimaan potongan untuk
dana kesejahteraan karyawan
Selama
hal-hal di atas tidak bisa dienyahkan, maka pemberantasan korupsi hanya akan
menjadi sebuah utopia. Memang, tindakan-tindakan sebagaimana dicontohkan di
atas terasa kental keberadaannya, meskipun seringkali sulit menemukan
pembuktian keterjadiannya. Misalnya, bukti surat sebagaimana diatur dalam KUHAP
adalah kwitansi yang ditandatangani. Namun, kalau masyarakat tidak mengakui
bahwa kwitansi yang telah ditandatangani adalah salah, maka bagaimana mungkin
pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, pertanyaan sederhana
yang harus diulang adalah siapakah yang harus bertanggungjawab terhadap
korupsi, apakah:
·
Orang yang menandatangani kwitansi?
·
Orang yang membayarkan uangnya?
·
Orang yang mengetahui tetapi tidak
melapor?
·
Aparat pengawasan yang tidak mampu
mendeteksi adanya penyimpangan tersebut?
Dalam
praktik pemeriksaan, seringkali diketemukan penyimpangan, tetapi kebanyakan
berbenturan dengan kenyataan bahwa kesimpulan hasil pemeriksaan harus
berhadapan dengan bukti yang diperlukan, sementara bukti yang dimiliki telah
memenuhi unsur bukti, dan hasil konfirmasi dari yang menerbitkan bukti adalah
benar, dan hasil analisis bukan merupakan bukti, maka apa yang anggapan
pemeriksa bahwa telah terjadi penyimpangan seringkali menjadi tidak mampu
diungkapkan. Masalah-masalah kecil tapi mendasar sebagaimana diungkapkan di
atas adalah salah satu alasan mengapa pemeriksaan seringkali gagal mengungkap
tindak pidana korupsi. Kegagalan dimaksud juga bukan lantaran semata ketidaksungguhan
aparat, melainkan karena adanya kecenderungan masyarakat umum secara tidak
sadar dan sadar tidak mendukung secara riil upaya menghilangkan korupsi dari
negara tercinta ini. Jika budaya tertib masyarakat telah tercipta, bisalah
diharapkan efektivitas pemberantasan korupsi. Dengan demikian, diperlukan
keikutsertaan seluruh komponen bangsa, untuk memulai dari yang kecil-kecil,
sehingga tercipta sebuah iklim kondusif untuk mengenyahkan tindak pidana
korupsi yang besar-besar, yang seringkali tidak terjamah oleh kepastian hukum.
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan diatas, moralitas memang sangat dibutuhkan bagi setiap insan
manusia. Moralitas dapat menjadi tolak ukur bagi manusia untuk mebedakan mana
perbuatan yang baik dan mana yang buruk. Banyak sekali faktor yang dapat
menjadi penyebab terjadinya korupsi, dari faktor tersebut lagi lagi adalah
hokum yang merupakan salah satu keadilan bagi rakyat tidak bisa berbuat apa apa
untuk para koruptor, dan mungkin itu salah satu juga yang menjadi surga bagib
para koruptor untuk melakukan kegiatan korupsinya, semakin lemah kekuatan
hukumnya semakin besar celah korupsi bagi para koruptor.
5.2 Saran
Tanamkanlah
sikap disiplin dan juga pendidikan agama yang baik sejak dini, itu merupakan modal
awal manusia untuk bisa mencegah segala perbuatan korupsi yang dapat merugikan
Negara. Dan juga menguatkan kekuatan hukum bagi pelaku korupsi, seperti hukuman
mati. Karena hukuman penjara bagi mereka, itu merupakan hukuman yang sangat
mudah dan malah menjadi banyak yang tertarik dengan melakukan tindak korupsi
tersebut. Jadi, korupsi tidak akan pernah punah jika memang tidak ada kesadaran
dari diri masing-masing. Untuk itu, jika ingin mencoba melawan korupsi, cobalah
dari diri kita sendiri, jangan hanya bisa melakukan pencitraan, yaitu berbicara
melawan korupsi, tetap dibelakangnya dia melakukan itu.
DAFTAR PUSTAKA
http://lidya-novita.blogspot.com/2013/02/faktor-faktor-penyebab-terjadinya.html
http://www.referensimakalah.com/2012/09/pengertian-moral-dan-moralitas.html
http://rickaastry.wordpress.com/2012/11/05/4-etika-bisnis-korupsi-faktor-penyebab-dan-dampak-korupsi-terhadap-bisnis/
http://pusdiklatwas.bpkp.go.id/artikel/namafile/15/korupsitanggungjawabsiapa.pdf
http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi
Axel
Dreher, Christos Kotsogiannis, Steve McCorriston (2004), Corruption Around
the World: Evidence from a Structural Model
http://tulisantulisannugroho.blogspot.com/2013/12/moralitas-koruptor.html