SEBUAH adaptasi sinema dari novel
fenomenal “Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata, yang mengambil setting di akhir
tahun 70-an. Hari pertama pembukaan kelas baru di sekolah SD Muhammadyah
menjadi sangat menegangkan bagi dua guru luar biasa, Muslimah (Cut Mini) dan
Pak Harfan (Ikranagara), serta 9 orang murid yang menunggu di sekolah yang
terletak di desa Gantong, Belitong. Sebab kalau tidak mencapai 10 murid yang
mendaftar, sekolah akan ditutup.
Hari itu, Harun, seorang murid
istimewa menyelamatkan mereka. Ke 10 murid yang kemudian diberi nama Laskar
Pelangi oleh Bu Muslimah, menjalin kisah yang tak terlupakan.
5 tahun bersama, Bu Mus, Pak Harfan
dan ke 10 murid dengan keunikan dan keistimewaannya masing masing, berjuang
untuk terus bisa sekolah. Di antara berbagai tantangan berat dan tekanan untuk
menyerah, Ikal (Zulfani), Lintang (Ferdian) dan Mahar (Veris Yamarno) dengan
bakat dan kecerdasannya muncul sebagai pendorong semangat sekolah mereka.
Di tengah upaya untuk tetap
mempertahankan sekolah, mereka kembali harus menghadapi tantangan yang besar.
Sanggupkah mereka bertahan menghadapi cobaan demi cobaan?
Film ini dipenuhi kisah tentang
kalangan pinggiran, dan kisah perjuangan hidup menggapai mimpi yang
mengharukan, serta keindahan persahabatan yang menyelamatkan hidup manusia,
dengan latar belakang sebuah pulau indah yang pernah menjadi salah satu pulau
terkaya di Indonesia (www.21cineplex.com)
Analisa Film
Laskar Pelangi adalah bagian pertama
dari tetralogi karangan Andrea Hirata yang menulis film ini berdasarkan
pengalaman hidupnya. Walau sebuah autobiografi, penggunaan nama2 fiksional
menandakan bagian2 dari serian ini adalah fiksi. Gw sendiri belom baca bukunya.
Kemaren abis nonton mau beli, ternyata harus 69rb. Udah gitu tebel. Akhirnya
tadi gw download aja. Cuman ~700kb. Tapi males bacanya. Gw lagi baca
Michelangelo & plafon sang Paus.
Anyway, Kisah ini mengikuti 10 anak
yang sekolah di sebuah SD gubuk, di Belitong, dimana sebuah perusahaan tambang
timah bermerk Timah menimbang timah & yang kerja disono ceritanya dapet
sekolah di SD PN Timah. Walau klaim sang narrator bahwa kekayaan alam Belitong
dirampas perusahaan tersebut, dan rakyat disitu tidak mendapat menikmati
hasilnya, SD PN timah menggunakan meja2 baru dipoles dengan pensil yang selalu
baru diserut dengan kontras gubuknya SD Muhammadiyah. Kontras ini dipertajam
dengan SD Timah selalu memakai seragam yang baru dijahit dan memakai batik hari
Senin, dan murid2 SD Muhammadiyah, dipakaikan baju satu2nya.
Menariknya, film ini tidak ditulis
dengan bahasa baku selayaknya film indonesia biasa, namun masih disuntik
peribahasa indonesia baku untuk accesibility.
Seperti lainnya film seperti ini, 10
anak ini memiliki keteguhan hati baja untuk bersekolah, dimana gurunya, walau
ditekan oleh departemen pendidikan untuk menutup sekolah tersebut, karena tidak
ada angkatan lain selain angkatan 10 anak ini, terus tegar mengajar sampe
kepala sekolahnya mati di kantor, meninggalkan guru cenya sendirian ngajar 10
anak, yang lalu putus asa, namun anak2 ini tetap tegar untuk terus belajar
sendiri. Namun sayang sekali, walau kisah ini sebenarnya adalah kisah tentang
Lintang & … siapa tuh nama anak pemeran utamanya? Penuturan cerita ini
sangatlah vague tentang kisah siapa ini yang diceritakan, dengan 1/20 bagian
pertamanya menceritakan tentang… siapa tuh nama pemeran utamanya, yang balik
kampung, 1/3 kemudian menceritakan tentang 2 guru teladan seideal film jaman
orde baru, 1/3 kemudian tentang … apapula lah termasuk cinta yang cintanya ga
kerasa & kerasa konyol (audience ketawa, nggak bisa disangkal), dan 1/3
terakhir menekankan bahwa mereka harus belajar lebih tekun untuk sesuatu yang
harus mereka menangkan, yang ternyata cuma lomba cerdas cermat, yang terancam
gagal karena seekor buaya ngehalangin jalan anak yang paling pinter.
Idealisme warisan jaman orde baru
seperti ini sayangnya meracuni film dari dunia “yang sempurna” ini, dan dengan
clichenya anak yang paling pinter pun bapaknya tewas melaut supaya dia bisa
putus sekolah & menafkahi adik2nya.
Waktu pertama melihat film ini, saya
merasa film ini sepertinya dibuat oleh orang lulusan sekolah seni. (dan
ternyata iya, Riri Riza lulusan IKJ) Dimana ada adegan si tokoh utama jatuh
cinta ketika melihat tangan ce Chinese yang terang benderang lengkap dengan
lens flare dan bunga2 berjatuhan. Juga betapa hancur dunianya ketika dia
mendapati ce tersebut pindah ke Jakarta dengan berjatuhannya benda2 di
sekitarnya.
Kontrasnya aktor berpengalaman yang
bermain di film ini membuat aktor2 amatir di film ini menonjol seperti jempol
yang merah. Entah apa ini kurang arahan dari sutradara, atau bagian kasting,
tapi sebagian anak di film ini tampaknya mereka cuma senang aja bisa muncul di
layar lebar, dan kurang mengerti peran mereka.
Sinema Indonesia masih harus banyak
belajar dari Sinema asing tentang struktur cerita, sinematografi dan
simbolisme.
Seperti yang diangkat Mbah Fauzie,
warna film ini sangat belel. Laiknya warna film Dono/Kasino/Indro di tahun
80an. Saya tahu Indonesia bisa membuat film dengan warna yang baik dan lebih
konstan antara adegan, seperti film Jalangkung dulu yang ditransfer ke DVD pun
warnanya masih baik.
Namun, akhirnya ada film indonesia
yang bukan tentang cerita cinta ataupun sesetanan. Walau katanya film denias
mengangkat topik yang sama, sepertinya kisahnya nggak sebesar ini.
Inti dari film ini adalah harapan
untuk anak Indonesia yang paling terpuruk. Kalau anak yang sekolah di SD bobrok
di pedalaman bisa sekolah di Paris, tentu saja siapapun bisa menggapai impian
mereka. Sayang sekali dalam produksi film ini, tidak tertekankan impian si anak
ini untuk menuju ke Paris, walau telah di hint hint dengan kaleng dengan gambar
menara eiffel, dan pencapaian “Impian” ini jatuh secara tiba2 ketika, siapa tuh
namanya pemeran utamanya, kembali ke Belitong untuk memberitahu temannya yang
putus sekolah, bahwa dia telah mendapat beasiswa ke Paris, Sorbonne.
Ini adalah jenis film yang
diperlukan masyarakat indonesia, namun bukan film dengan kualitas produksi yang
patut mereka dapatkan. Terutama mereka yang tidak mampu membayar 15-20 ribu
untuk menonton di studio berAC.
Demikian resensi ini ditulis tanpa
pengetahuan tentang kisah dari buku aslinya, namun ditulis secara kritis hanya
berdasarkan filmnya.
Sumber :
http://putriluviani.blog.com/ringkasan-cerita-film-laskar-pelangi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar